Cahaya Itu...
Tahun ajaran kali ini terasa begitu asing bagiku. Yah, tidak pernah aku bayangkan sebelumnya aku bakal nyangkut di sebuah boarding school. apa boleh buat semua ini aku lakukan demi mamaku. Beliaulah yang memintaku untuk belajar agama lebih dalam di sini.
Hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-15. Sepi. Tanpa kejutaan yang spesial dari keluargaku, terutama mama dan kedua kakak kembarku. Aku tahu mereka semua sedang sibuk. Mama sibuk dengan restauran barunya. Sedangkan kedua kakakku sibuk dengan kuliahnya. Huftt, malangnya nasibku. Tapi Leona harus bisa tegar dengan semua ini. Leona bukan anak yang cengeng.
Proses belajar mengajar
dimulai pada hari ini. Kelas X-3 begitu asing bagiku. Kelas sempit dengan
beberapa meja dan kursi tanpa sandaran.
Serta terdapat meja guru dan kipas angin kecil yang tergantung di atas atap,
tanpa AC, jauh dibanding dengan kelas ku dulu ketika smp. Aku merasa sangat
kikuk. Bahkan teman satu bangkuku saja aku tak tau siapa namanya. Tak lama aku
duduk di salah satu bangku kelas ini, seorang guru masuk dan membuat kelas jadi
lebih tenang.
“assalamualaikum...”
sapanya dengan salam yang di ucapnya dengan lembut. Dan kami pun menjawab salam
itu secara serempak.
“selamat pagi semua,
nah pagi ini, sudah tau khan mata pelajaran apa yang akan kita pelajari? Ya
sebelumnya perkenalkan nama saya, Nur Rahmawati, saya mengajar b. Indonesia di
sekolah ini. Tepatnya saya akan belajar bareng kalian.” Perkenalan pertama yang
sebenarnya tidak penting, tapi memang layaknya seperti itu.
“bu, kenapa tidak
perkenalan dulu aja? Kami sebenarnya banyak yang tidak saling kenal”ucap salah
seorang temanku Hendra.
Tanpa pikir panjang, Bu
Rahmapun menyetujui usul dari Hendra. Satu per satu dari kami dipanggil dan
memperkanalkan diri cukup hanya di tempat duduk saja.
“di sini ada yang
namanya Leona ya?”tanya Bu Rahma yang langsung membuatku alih perhatian.
Teman-teman penasaran, dan tidak menunjukkan satu jawabanpun.
“ya, Bu saya,” jawab ku
dengan nada datar, tanpa ekspresi.
“ silahkan perkenalkan
dirimu” pinta Guru bahasa indonesia itu dengan halus.
“ ya teman-teman, dan
juga bu Rahma. Nama saya leona freny fortunata, saya tinggal di perumahan
mustika 2 kota Solo. Dulu saya bersekolah di SMP Islam kota Solo. Terima kasih
.”
“ nama kamu... bagus
pantas untuk orang sepertimu.”
Pujian dari Bu Rahma
sempat membuatku melayang. Aku pun hanya bisa senyum tanpa bisa menjawabnya.
Sekalipun menjawab apa yang harus ku ucapkan? Terimakasih kah.? Mugkin itu akan
jadi hal bodoh bagi teman-temanku.
Bel akhir pelajaran pun
berdering. Tanda pelajaran pertama telah usai. Akhir dari proses belajar
mengajar ini pun berakhir pula. Bu Rahma meninggalkan tugas yang ahrus segara
dikerjakan sebelum pertemuan besok. Sebuah tugas, menulis cerita atau lebih tepatnya menceritakan pengalaman
menarik yang pernah kita alami. Ah, apa yang harus aku tulis? Aku tak punya
pengalaman menarik seperti punya teman-teman lainnya. Bodoh. Apa harus aku
menulis pengalaman menyeramkan 2 tahun lalu? Duh, rumit akan adakah yang mau
mendengar ceritaku yang satu ini? Sedangkan mereka pasti akan sangat berlaku
sinis kapadaku. Tapi satu-satunya pengalaman yang masih jelas tergambar dalam
benakku, ya memang itu. Terserahlah yang penting aku ngupulin tugas.
Semingu belalu. Aku
mulai akrab dengan teman-teman, yang beransur-ansur bisa mengenaliku dengan
baik. Aku berharap setelah ku ceritakan kisahku yang satu ini, mereka tak akan
pergi menjauhiku. Langkah kaki Bu Ratna terdengar seperti sebuah ketukan lagu
yang senada. Beliau memasuki ruangan dan menagih janji tugas kami kemarin. Satu
demi satu antara nama kami dipanggil secara acak. Mulai dari Hendra, Adel,
Rizki, dan hingga akhirnya nama terakhir yang dipanggilnya, aku.
“ayo, leona. Ceritakan
pengalamanmu didepan kami semua.”
Aduh.. Bu Rahma mulai
tidak sabar menanti ceritaku. Apapun ceritanya, inilah kisahku. Nyata yang
sebenarnya aku alami 3 tahun silam.
Cerita ini dimulai 3
tahu silam. Aku tinggal di sebuah daerah yang permai, dipuncak gunung. Udara
sejuk selalu menemani awal hari-hari kami. Ditambah, keluarga kami termasuk
keluarga terhormatkala itu. Ya ayah adalah seorang pendeta terkenal di wilayah
kami. Semua orang bersikap santun kepadanya. Hingga suatu ketika ayah menemuka
sepucuk surat entah dari mana asal surat itu, yang bertuliskan tugas yang harus
dilaksanakan ayah. Beberapa hari setlah itu, kami berkemas dan langsung pindah
menuju kota karang anyar jawa tengah. Tugas ayah yidak langsung dikerjakan
seketika itu. Ayah harus menunggu agar kondisi yang diharapkan berjalan
sempurna.
Dua tiga hari kami
tinggal di karang anyar, akhirnya ayahmelancarkan tugas itu. Setiap harinya
ayah berusaha memaksasatu per satu warga yang kebanyakan dari mereka beragama
islam. Agama yang dulu pernah jadi musuh kami. Agama yang dulu kami kira adalah
agama kejam yang dengan tega membiarkan pengikutnya kelaparan di saat-saat
tertentu. Tak tau kenapa dulu kami membenci agama islam. Ayahku adalah pahlawan
dari agama kami dulu, yaitu khatolik. Tiap hari ayah semakin menunjukkan
prestasi. Lebih dari 50 orang berhasil melepaskan agamanya dan masuk ke agama
kami. Tak jarang kalau ada yang menolaknya ayah berani membayar berapapun bagi
orang yang bisa menghasutnya. Kalau itu tetap saja tidak berhasil, terpaksa
ayah akan membunuhnya sebagai ganti dosa yang telah ia kerjakan. Dan salah
seorang dari mereka adalah seorang ulama besar di kota ini. Ayah hanya
melaksanakan tugas. Jadi dia tak memperhitungkan akibat apa yang akan terjadi
nanti. Yang dipikirkannya hanya tugas kepercayaan, yang langsung ia terima dari
Tuhan.
Warga mulai cemas
dengan perlakuan ayah selama ini. Mereka marah, sedang ayah tetap teguh pada
pendiriannya. Amukan warga saat itu tak bisa dikendalika. Mereka mengepung
rumah kami, mendobrak pagar depan, dan menerobos masuk ke rumah kami. Mereka
menyert paksa ayah keluar rumah. Aku, ibu, dan kedua kakak kembarku hanya bisa
meratap tak bisa berbuat apapun. Warga yang marahsemakin mengamuk, beribu
pukulan mereka jatuhkan ke sekujur tubuh ayah yang sudah tak berdaya. Kami
hanya bisa bersembunyi dari suasana itu. Kami takut sesuatu yang lebih buruk
akan menimpa kami. Mulut kami terus memohon dan mengharap kepada Bunda agar
Beliau bisa menolong kami dan juga ayah. Kami pun sedikit lega setelah aparat
kepolisian datang dan mencairkan suasana yang sangat kacau ini.
“sebentar leona,
pembantaian umat muslim yag terjadi di Karang anyar yang dilakukan oleh seorang
pendeta? Jadi kamu.?”
Pertanyaan Bu Rahma
secara tiba-tiba menbuatku terpaksa menghentikan ceritaku.
“ benar Bu, ayah ku
adalah pendeta itu. Saya adalah anak kandung dari Petra d’agustinus, dan ibu
saya bernama Mariana fortunata”
“ok, lanjutkan saja.”
Ya, dan hasih dari
sidang terakhir adalah hukuman mati. Tepat 2 hari setelah ini, 7 anak peluru
akan menimbus tubuhnya. Kami tak bisa mengganggu gugat hasil diskusi dari
hakim. Apa boleh buat ayah memang bersalah. Kami siap dengan apapun yang
terjadi.
2 hari berlalu begitu cepat sesaat sebelum
eksekusi itu dilakukan, kami sempat menemui ayah sebagai pertemuan terakhir
kita. Air mata bercucuran menambah suasana menjadi lebih sendu. Satu pesan
terakhir yang kuingat adalah “jangan pernah melakukan hal sekeji ini, ayah
menyesal, karena surat sialan itu kalian jadi menderita begini, sekali lagi
jangan pernah percaya dengan hal yang belum pernah kalian lihat dengan mata kepala
kalian sendiri. Maafkan ayah, relakan ini semua. Percayalah Bunda maria akan
menerima ayah dan menganggap kematian ayah ini sebagai pemebusan dosa. Sudahlah
kesempatan kalian maih banyak. Jangan biarkan airmata melunturkan kesempatan
itu. Berbahagialah kalian.”
Lima belas menit
setelah itu, persis 7 suara keras dari senjata api, mengguncang gendang telinga
kami. Ayah sudah pergi. Kami berharap Bunda maria akan menganpuni semua
kesalahan yang pernah diperbuatnya.
Masih dalam suasana
sendu, kami memulai hari-hari yag hampa ini hanya dengan 4 cangkir teh hangat.
Kepergian ayah tetap menyisakan kegelisahan kepada keluargaku. Akankah para
warga masih bisa menerima kami? Pertanyaan itu yang selalu bersenandung di
kepala kami. Dan akhirnya jawaban dari semua pertanyaan itu terungkap.
Pagi-pagi buta seerombolan oarang telah menyerbu halam rumah kami. Pagar depan
yang terkunci rapat kini menjadi pagar rongsoka yang telah hancur. Secara kaji
mereka melempari rumah kami dengan telur busuk, menyeret kami keluar dan menghujani
kami dengan kata-kata yang keji pula. Kami merasa pengap di pagi hari yang
cerah. Kedua kakak ku, Yoan dan Yones, berusaha mencegah mereka. Tapi apa yang
didapatnya? Sebuah botol kaca mendarat tepat di kepala mereka. Aku tak tahan
lagi melihat semua ini. Darah segar mengalir dari ubun-ubun mereka.
“kak, sudah jangan
melawan mereka. Percuma. Lebih baik kita serahkan semua kepada Bunda maria,
Beliau tau apa yang terbaik untuk kita.”
Kami tak sanggup lagi
melakukan perlawanan. Yang kami lakukan kini hanya berdoa dan berdoa. Berharap
Bunda maria mendengar doa kami dan menyelamatkan kami dari situasi yang sangat
tidak meyakinkan untuk selamat. Mereka senang melihat kami menderita. Mereka
tertawa ketika kami kesakitan. Dan mulai saat itu juga, rasa benciku terhadap
islam semakin memuncak. Apakah ini yang disebut oarang muslim itu? Orang yang
hanya bisa menertawakan ketidak mampuan orang lain.
Tak berapa lama,
berliter bensin mereka tumpahkan ke seluruh tubuh kami, dan siap untuk membakar
hidup-hidup kami.sebatang korek api telah menyala, siap membakar tubuh kami.
Lemas. Kami tidak sanggup lagi untuk
mengharap akan kehidupan kami lagi. Kami rela jika itu yang terbaik untuk kami.
Bunda maria pasti akan mengampuni dosa-dosa kami. Ketika korekitu siap mendarat
di tuuh kami, entah dari mana seoarang laki-laki paruh baya menghalau mereka.
Menyelamatkan kami dari acaman hidup dan mati ini.
“ apa yang telah kalian
lakukan ini? Apakah islam mengajari kalian untuk main hakm sendiri? Taukah
kalian, apa yang kalian lakukan in lebih keji dari pada apa yang dilakukan
pendeta itu. Biarlah mereka ikut bersamaku jangan kalian hinakan mereka.”
Aku tak tau siapa orang
ini. Yang pasti dia bergegas membawa kami pergi jauh dari tempat kejam itu.
Tempat apa ini? Sunyi
sepi dan parahnya kami seperti orang asing yang kehilangan petunjuk arah.
“pak tempat apa ini?”
tanya ibuku setelah sampai di tempat sunyi ini.
“begini bu, ini adalah
daerah pesantren, tempat dimana para santri belajar mendalami agama islam”
“agama islam? Agama
kejam itu kenapa anda membawa kami ke tempat seperti ini?” tanya ku dengan nada
sedikit tinggi kepada orang asing tersebut.
“ begini agama islam
itu bukan agama yang kejam. Tapi lebih menjurus ke hak asasi manusia.”
“ kalau begitu mengapa
kalian biarkan umat muslim kelaparan di waktu” tertentu?”
“ karena dengan
berpuasa mereka akan belajar rendah hati kepada orang yang lebih di bawah
mereka. Tidak sema orang islam kejam. Mereka hanya khilaf saja disaat emosinya
memuncak. Nah mulai sekarang kalian boleh tinggal disini, tapi igat jangan
sekali-kali kalian paksa mereka masuk ke agama kalian, dan mereka akan hidup
tenang bersama kalian.”
Salah. Ternyata salah
apa yang aku fikirkan selama ini. Islam agama yang baik, umatnya pun juga baik.
Semenjak itu kami sadar kami belajar agama islam disini. Ya, tepat 2 tahun
silam kami sekeluarga resmi menjadi mualaf. Dan aku terutama mulai senang dengan ajaran islam
yang lebih manusiawi. Akhirnya aku dan kedua kakakku melanjutkan sekolah di
sekolah islam juga. Setelah lulus ibu sepakat akan menyekolahkanku di asrama
ini. Apa boleh buat pasti ini semua dilakukannya demi aku anaknya. Yang lebih
membuat kami bahagia adalah para penghuni pesantren ini tidak sedikitpun enggan
bergaul dengan kami.
“ ya menarik sekali
leona, saya bangga dengan kamu. Baik anak-anak bagaimana?”
“oh jadi kamu anak dari
pendeta kejam itu yah..?”
tanya seorang temanku
Dewi, yang secara tidak langsung berupa sindiran untukku.
“yah, dia memeng
ayahku, patutlah bila kalian bisa dengan tepat mengenalinya yah, berita itu
sudah tersebar luas di negara ini. “
Mungkin hanya salam
yang bisa sebagai tanda akhir dari cerita pahit itu. Sebagaimanapun ayah, dia
tetap seorang ayah yang kami sayangi. Satu-satunya kenangan terindah dari ayah
adalah nama kami yang masih mengandung arti dari agama kami. Yang lainnya,
mungkin hanya sebagai kenangan terindah yang akan selalu abadi dalam benakku.
Selamat jalan ayah, kami sayang padamu. Dan semoga Allah bisa menganpuni
dosa-dosamu, amien.
SEKIAN
Itsna Ariza SMA Pomosda
, Nganjuk"